Kesejukan dan Tapak Meraih Mimpi
11 Mei 2007
Menyejukkan. Itulah kata yang mungkin cukup bisa menggambarkan
Kabupaten Manggarai, NTT, saat pertama aku mengenalnya. Menyejukkan baik
dalam hal cuaca, keramahan penduduk dan keindahan alam. Saat itu lewat
pertengahan April 2007. Walau tidak tahu persis berapa derajat suhu
waktu aku berkelana seminggu di sana , siang hari terasa sejuk. Bahkan
pada saat matahari ada dan menyembul dari balik awan, dingin tetap
terasa. Jangan tanya di malam hari. Kita dipastikan akan menggigil jika
tidak mengenakan celana dan baju panjang, jaket, kaos kaki dan selimut
tebal. Beberapa teman mengatakan, aku cukup beruntung datang saat musim
hujan. Jika musim kemarau datang, bbbrrrr…. pasti lebih dingin lagi.
Keramahan penduduk yang menyejukkan terbukti pada saat aku berkunjung
ke beberapa desa sekitar Ruteng, ibukota Manggarai. Senyum, lambaian
atau sapaan “selamat” hampir selalu ditemui setiap kali aku berpapasan
dengan orang-orang di jalan-jalan desa. Apalagi jika kita berkunjung ke
rumah atau mengikuti pertemuan desa. Makan bersama menjadi menu yang
kudu wajib, tidak boleh ditolak oleh sang tamu. Sedikit tak masalah,
asal sajian disentuh dan dilahap. Aku merasa, bagi kebanyakan orang
Manggarai, terutama yang ada di desa, tamu merupakan berkah tersendiri.
Sekedar tambahan soal makan, jika waktu makan tiba, aku “terpesona”
menyaksikan semangat orang Manggarai makan. Pengalaman pertama yang
cukup mempesona saat melihat kelompok tani di Desa Golo Watu disodori
piring yang memuat nasi penuh. “Bak gunung Rakata”, demikian istilah
Delfi, seorang pendamping lapangan dari LSM Yayasan Ayo Indonesia,
ketika aku membagi keterpesonaanku itu. “Kalau nantinya di Manggarai ada
laporan kekurangan pangan (nasi), bukan karena mereka betul-betul
kurang pangan. Tapi karena jatah beberapa orang di tempat lain, disantap
satu orang di desa-desa Manggarai, “ candaku kepada Delfi yang disambut
gelak tawa.
Kesejukan ketiga yang kutemui saat di mana-mana sejauh mata memandang
keindahan alam Manggarai terbentang. Kabupaten yang terletak di Flores
Barat ini terkenal sebagai daerah pegunungan. Hijau di mana-mana.
Hamparan sawah ditemui di banyak tempat. Aku sempat ternganga melihat
salah satu sistem pembagian lahan sawah yang ada di sana : Lingko,
membentang indah laksana jaring laba-laba raksasa.
Jika kesejukan ditemui pada pengalaman pertama aku menyentuh
Manggarai, berbagai kesan lebih mendalam kudapatkan saat berinteraksi
sedikit lebih jauh dengan kelompok masyarakat. Aku mengikuti perjalanan
seorang teman, staf Yayasan Ayo, untuk pergi ke beberapa desa dampingan.
Dari sinilah semua bermula, yang pada akhirnya bermuara pada
keberuntungan. Aku mendapat sekeranjang pelajaran berharga dari
masyarakat Manggarai.
Golo Watu menjadi desa pertama yang kujajaki. Saat itu, kelompok tani
Tungku Mose, berjumlah 18 orang, sedang mencangkul tanah yang nantinya
akan ditanami bibit tanaman umur panjang atau pendek. Semula mereka
hanya memandangku dari kejauhan. Saat kudekati dan kuulurkan tangan,
dengan cepat mereka menyambut. Kukeluarkan kamera digital untuk memotret
kegiatan. Hasilnya mulai terlihat. Beberapa menyembulkan senyum meski
suasana belum terlalu cair dan obrolan belum bersambut.
Rambutan manis! Siapa sangka, buah inilah yang menjadi media pelancar
komunikasiku dengan petani-petani desa Golo Watu. Kebetulan saat aku
hendak berangkat dari kantor Yayasan Ayo, ada tukang buah lewat. Dua
kilogram rambutan kutenteng sampai ke desa yang terletak di Kecamatan
Wae Rii ini. Saat kutawarkan, mula-mula hanya satu dua orang yang
menghampiri tempatku duduk dan merasakannya. Mungkin karena manis,
kemudian semua bergiliran mengambil buah ini dari kantong plastik hitam.
Lalu, bergulir ide menanam biji rambutan tersebut di tanah yang sedang
digarap ini.
Menjelang makan siang, dua perempuan datang membawa makanan. Seperti
yang kuungkapkan di atas, di sanalah aku terpesona melihat kemampuan
makan orang Manggarai yang diwakili para petani Golo Watu. Beberapa hari
kemudian dari hasil perbincanganku dengan beberapa ibu di desa lain,
aku baru tahu bahwa orang Manggarai biasa makan besar dua kali, siang
dan malam. Berbeda di banyak tempat lain di Indonesia, di sela-sela
waktu makan, tidak ada makanan kecil yang disantap. Jadi mengertilah aku
kenapa porsi menakjubkan menjadi lazim di banyak tempat di Manggarai.
Saat para petani yang semuanya laki-laki lahap menyantap sajian nasi,
sayur daun labu kuning dan ikan asin, dua perempuan tadi sibuk
melayani. Aku yang asyik makan bersama para bapak, menanyakan kenapa ibu
tidak ikut makan. Dijawab oleh seseorang kalau para ibu di Manggarai
biasa makan sesudah para bapak dan tamu selesai makan. Kenapa begitu?
Jawabnya, kalau mereka ikut makan, siapa yang melayani mereka yang
sedang makan? Aku kembali bertanya, bagaimana jika nasi dan lauk habis
tidak tersisa bagi para ibu karena dilahap para bapak dan tamu? Seorang
petani muda lainnya bergumam, “Iya, ya. Kalau makanannya habis, para ibu
kemudian makan apa?” Walaupun bagiku ini agak unik, aku tidak ingin
mendebat lebih jauh. Hanya kujelaskan kalau di tempatku, laki-laki dan
perempuan biasa makan bersama, termasuk dengan para tamu.
Selesai makan, aku menjadi tahu lebih banyak apa yang sedang
dikerjakan oleh kelompok tani ini. Yang sedang dilakukan adalah mengolah
lahan secara bergilir yang nantinya ditanami berbagai jenis tanaman,
seperti buah-buahan, ubi kayu dan jagung. Sistem arisan penggarapan
lahan –demikian istilahku– diterapkan. Kali ini tanah yang sedang
digarap bersama, nantinya akan menjadi lahan kelola Wenslaus Jehadut,
sang kepala desa sekaligus ketua kelompok tani. Saat menggarap yang
dilakukan adalah mencangkul dan menggemburkan tanah.
Karena hampir semua petani dalam kelompok ini bekerja sebagai tukang
batu, kayu, petani sawah tadah hujan merangkap berjualan sayur mayur di
pasar, maka diputuskan satu kali seminggu kerja bersama dilakukan, agar
tidak mengganggu pekerjaan utama. Setiap Jumat, sistem arisan
penggarapan lahan dilakukan. Jika Jumat ini di lahan Jehadut, Jumat
berikutnya di lahan anggota yang lain. Semua dilakukan secara bergotong
royong. Tentunya sesudah selesai lahan dicangkuli dan digemburkan,
setiap anggota akan bisa menanam lahan itu dan secara mandiri mengelola
sesuai kebutuhan masing-masing.
Jika tanaman sudah bisa dipanen, bagi Jehadut dan teman-teman di
kelompok Tungku Mose, berarti ada harapan peningkatan pendapatan.
Menjadi pekerja bangunan, mengelola sawah tadah hujan dan berjualan
sayur tidak cukup dilakukan, jika para petani di Golo Watu ingin
mengejar kehidupan yang lebih baik. “Demi keluarga, dan nantinya untuk
anak cucu,” tegas Jehadut ketika ditanya untuk apa semua ini dilakukan.
Dan, tapak jalan meraih mimpipun telah dirintis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar